KENOTARIATAN : Mimpi Yasonna Tentang Notaris yang Kompeten
Ujian kompetensi yang diwajibkan sebagai syarat pengangkatan notaris telah dibatalkan oleh Mahkamah Agung melalui judicial review pada akhir September 2018. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna Laoly mengaku sempat frustrasi setelah mengetahui putusan tersebut.
Dalam pandangan politisi PDI Perjuangan tersebut, jumlah notaris di Indonesia sudah terlampau banyak. Dari jumlah yang telah mencapai ribuan tersebut, tidak sedikit pula notaris yang nakal sehingga merugikan banyak pihak.
“Kita ini kan sistem online kalau dalam sistem informasi itu notaris bilang centang semua beres-beres, itu saham orang bisa hilang sekejap saja melalui sistem online. Tiba-tiba bangun dia, saham sudah pindah ke orang lain karena kerja notaris,” tuturnya kepada Bisnis, Selasa (13/11).
Dia pun tidak menafikan bahwa sengketa dualisme ormas atau yayasan yang kerap terjadi turut disebabkan oleh kelalaian notaris. Modusnya, notaris yang mengesahkan pendirian ormas atau yayasan yang berdiri, kemudian, tetap melakukan pengesahan tersebut meskipun tahu bahwa sudah ada ormas ataupun yayasan dengan nama yang sama sebelumnya.
Pihaknya juga menilai bahwa jumlah notaris baru yang mencapai ribuan orang tersebut, berbanding terbalik dengan sempitnya wilayah kerja, bisa mendorong terjadinya persaingan tidak sehat di antara notaris sehingga tidak sedikit notaris yang nekat melakukan pelanggaran etika, bahkan pelanggaran hukum demi mendapatkan klien.
“Sekarang ini orang sering bilang, mau cari pengacara yang bisa, bukan yang mampu. Yang bisa ya maksudnya bisa mengutak-atik. Saya bilang, kita harus buat seleksi kompetensi. Di mana pun di dunia ini, seleksi kompetensi itu ada. Mau jadi pengacara saja ada pendidikannya, ada seleksi kompetensinya. Tamat dari kampus tidak otomatis sarjana hukum menjadi pengacara. Kalau dulu iya, sekarang tidak. Untuk pengacara saja jalan, kenapa notaris tidak. Karena itulah saya buat ujian kompetensi,” urainya.
Berkaca dari situlah, kemudian terbit Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Permenkumham) No. 25/2017 yang dalam salah satu pasalnya, mensyaratkan calon notaris untuk mengikuti ujian kompetensi sebagai syarat pengangkatan.
Mantan anggota DPR tersebut menceritakan, ujian gelombang pertama diselenggarakan secara gratis karena dia tidak ingin muncul anggapan miring bahwa ujian tersebut dilakukan sebagai sarana mencari uang.
“Ujiannya kita buat sangat ketat dan transparan, dan menurut hemat saya para peserta yang lulus tes kompetensi memang berkualitas,” tuturnya.
Setelah uji kompetensi gelombang perdana tersebut selesai diselenggarakan, pihaknya berencana untuk menggelar seleksi gelombang kedua menggunakan sistem komputerisasi, sebagaimana seleksi CPNS saat ini.
“Sistem itu sangat fair. Begitu selesai ujian langsung ketahuan skornya, memenuhi ketentuan atau tidak. Begitu seseorang ikut tes itu, mau menteri, atau hantu sekalipun tidak bisa tolong kecuali dia sendiri,” ungkapnya.
Untuk menuju ke arah itu, pihaknya telah menggelar persiapan dengan menyusun bank soal yang berkualitas untuk mengukur kualitas seorang calon notaris. Di tengah persiapan itulah, datang permohonan judicial review Permenkumham ke Mahkamah Agung.
“Lalu dibatalkan oleh Mahkamah Agung. Aku mau bikin baik tidak bisa.Saya frustrasi juga. Di manapun di dunia ini kalau mau masuk jadi notaris, jangan pula bloon masuk di situ,” ujarnya sembari duduk terkulai di kursinya.
Dia mengatakan, untuk menjadi abdi negara saja, harus melalui serangkaian tes yang sulit. Mestinya, notaris pun demikian karena menurut pria asal Nias, Sumatra Utara ini, notaris merupakan profesi yang penting karena bisa menerbitkan suatu akta yang dapat langsung dieksekusi oleh pengadilan. Mengingat pentingnya peran notaris, tentu proses seleksi harus dilakukan untuk menghadirkan orang-orang yang kompeten.
“Mau beri semudah itukah. Makanya perlu ujian kompetensi. Rupanya banyak yang sudah tamat pendidikan notaris mengatakan bahaya ini mereka bisa tidak lulus. Padahal kita sudah S2. Memangnya kalau S2 kenapa rupanya. Lalu diujilah di MA dan kalah kita,” imbuhnya.
Pascaputusan MA tersebut, yang mau tidak mau harus dipatuhi oleh pihaknya, maka saat ini, satu-satunya cara yang bisa dilakukan adalah dengan memberikan pembekalan terhadap para calon notaris tersebut.
Akan tetapi, dia menilai pembekalan seperti itu kurang menggigit guna menghasilkan seorang notaris yang memiliki kompetensi handal. Namun, apa mau dikata, semua itu harus dijalankan oleh Kementerian Hukum dan HAM.
Berdasarkan catata Bisnis, dalam pertimbangan uji materi permohonan pembatalan Permenkumham No.25/2017, majelis terlebih dahulu melakukan penilaian terhadap Pasal 2 ayat 2 huruf Permenkumham No.62/2015. Menurut majelis, yang perlu mendapat perhatian dan dipertimbangkan secara mendalam adalah fotokopi tanda kelulusan ujian pengangkatan notaris yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum.
Dengan bunyi pasal yang demikian, menurut Mahkamah Agung, ketentuan tersebut nyata-nyata telah memperluas norma yang terkandung dalam Pasal 3 UU No 2 /2014, karena Penyelenggaraan ujian pengangkatan notaris oleh Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum tidak pernah diperintahkan oleh UU itu.
Dengan demikian, dengan dibatalkannya ketentuan pasal tersebut, mengakibatkan Permenkumham No 25/2017 yang mengatur tentang Ujian Pengangkatan Notaris (UPN) ikut menjadi bertentangan dengan UU No. 2 /2014 tentang Jabatan Notaris.
Berdasarkan salinan putusan yang diterima, Senin (15/10/2018), Mahkamah Agung menilai karena materi muatan Permenkumham 25/2017 mengatur sesuatu yang tidak diperintahkan UU Jabatan Notaris (ultra vires), maka dengan sendirinya materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian Permenkumham itu menjadi batal demi hukum dan tidak mempunyai kekuatanhukum yang mengikat secara umum.
“Menimbang, bahwa dengan dikabulkannya permohonan keberatan hak uji materiil dari Para Pemohon, maka termohon dihukum untuk membayar biaya perkara,” ujar majelis yang terdiri dari Supandi, Yosran, dan Yodi Martono Wahyunadi.
Seperti diketahui, Forum Komunikasi Calon Notaris Indonesia (FKCNI) bersama tiga profesor dari Universitas Jambi mengajukan uji materi Permenkumham No.25 /2017 tentang Ujian Pengangkatan Notaris ke Mahkamah Agung karena bertentangan dengan UU No 2/2014 tentang Jabatan Notaris.
Judicial review ini diajukan oleh Forum Komunikasi Calon Notaris Indonesia (FKCNI) bersama 3 profesor dari Universitas Jambi mengajukan uji materi Permenkumham No.25 /2017 tentang Ujian Pengangkatan Notaris ke Mahkamah Agung karena bertentangan dengan UU No 2/2014 tentang Jabatan Notaris.
Rasanya, tidak ada yang salah dengan keinginan Yasonna agar notaris di Negeri ini memiliki kompetensi karena memang sudah seharusnya tidak ada tawar-menawar soal penegakan hukum. Apa jadinya bila persoalan hukum ditangani oleh orang yang tidak berkompeten.
Sumber: http://sumatra.bisnis.com